
Hidup adalah sebuah proses yang dimulai dari interaksi dua individu. Hari ini, anda dan saya yang sedang membaca tulisan ini juga merupakan hasil dari sebuah proses masa lalu. Andaikan saja, bapak dan ibu kita tidak bertemu, mungkin saja kita tidak pernah bersua dalam tulisan ini.
Sebuah perjuangan menghidupkan manusia dari yang tiada menjadi ada punya cerita dan tantangan tersendiri. Anda dan saya adalah individu yang diproses melalui cinta, kasih dan sayang.
Namun, adapula yang lahir kebetulan (terlantar). Itulah sebabnya kita jadi seperti saat ini. Bersyukur pada Tuhan pencipta alam semesta, bahwa sesungguhnya kita adalah karya ciptaan yang maha agung di dunia ini.
Meskipun demikian, banyak ciptaan yang tidak sempurna menurut cara pandang setiap orang. Mungkin juga, Tuhan menciptakan kita selalu berkekurangan dan berkelebihan supaya kita saling melengkapi. Hidup untuk melengkapi yang kekurangan dan menebar kelebihan yang ada pada diri kita untuk sesama yang berkekurangan.
Para pengkhotbah misionaris selalu mengatakan “memberi dari kekurangan, tidak akan selalu kurang dan sebaliknya memberi dari kelebihan tidak akan selalu bertambah” karena segala sesuatu tidak ada yang istimewah, yang ada hanyalah perubahan dari kita memberi dan akan menerima.
Perjalanan hidup manusia selalu saja punya cerita. Sebuah tulisan di salah satu blog website menulis tentang perjalanan hidup manusia “setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya”. Ungkapan ini selalu tepat ketika terjadi perpindahan suatu jabatan, pekerjaan antar waktu. Ungkapan ini selalu saja memiliki dua makna penguatan postif dan negatif.
Penguatan positif bagi orang atau kelompok tertentu yang menerima tugas atau jabatan baru. Hal ini sangat menguatkan semangat dan motivasi untuk bekerja lebih baik. Meskipun demikian, ada penguatan negatif bagi orang atau kelompok yang harus dengan rela melepaskan jabatannya.
Mereka yang sudah nyaman dengan posisi jabatan, tentunya ada semacam beban yang tidak ingin dilepaskan. Padahal, sesungguhnya jabatan yang diemban hanyalah sebuah kepercayaan dari pimpinan lembaga kepada bawahan bukan hak milik pribadi. Meskipun demikian, jabatan dan pekerjaan yang tempuh adalah sebuah harga yang mahal.
Terlepas dari proses kehidupan ini, saya kembali pada jalur proses yang menjadikan manusia menjadi manusia planet bumi yang hebat dengan kecerdasan otak super komputer. Mengapa demikian?
Manusia dilahirkan bagaikan kertas putih yang polos dan belum ada coretan apapun. Sejalan perkembangan koognitifnya, manusia kertas yang polos kini penuh dengan coretan kehidupan zaman. Bagaimana prosesnya? Tentu tidak terlepas dari peranan dari mana manusia hadir dan dibesarkan oleh pemiliknya.
Manusia pertama dibesarkan dalam kandungan ibunya. Lahir dan besar dalam lingkungan keluarga kecil, ayah, ibu, saudara, kakak dan adik. Masa pengenalan dunia di mulai dari rumah tangga. Melihat, mendengar, merasa, melatih, meniru, mencoba adalah proses belajar yang dimulai dari rumah. Mereka yang mengasuh, membimbing, melatih dan mengarahkan tidak lain adalah keluarga kecil di rumah. bersyukurlah kita bisa sampai di tahap ini.
Perlahan menanjak sedikit umur untuk pendidikan dasar, kita mendapat pelayanan pendidikan yang lebih formal (pendidikan yang ada sistem penilaian). Tahap ini, semua kita yang sudah pernah melewati tantangan belajar, bahkan lulus ujian sekolah pasti punya cerita masa lalunya. Proses belajar di setiap masa pendidikan selalu ada cerita dan peranannya masing-masing.
Pendidikan Masa Lalu
Saya teringat, masa waktu sekolah tahun 1990-an. Pendidikan dengan kurikulum 1984 CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Kami dipaksakan oleh guru sekolah dasar untuk belajar yang lebih keras. Kami harus aktif menghitung, membaca dan menulis. Kami juga belajar dengan metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis) meskipun tidak memahami apa yang kami tulis. Kami selalu berharap semua pada guru sebagai pusat belajar (teacher centered).
Entalah mengapa, para guru sekolah dasar saat itu mengajar selalu memegang mistar kayu atau rotan (akar pohon asam, ranting pohon atau batang pohon yang pejal (padat). Rotan tersebut berfungsi ganda sebagai penunjuk huruf di papan tulis, tetapi kadang menjadi senjata pemberantas kebodohan. Benar pepatah didikan kuno “di ujung rotan ada emas”. Emas itulah generasi saat ini.
Kami belajar melalui papan tulis berwarna hitam, kapur tulis berwarna putih, satu buku catatan sudah membuat kami senang dan bisa belajar dengan baik. Kami lebih takut pada rotan yang di pegang guru setiap kali mengajar.
Itulah sebabnya kami menghafal perkalian matematika, membaca dan menulis kembali, teks bacaan dan membaca buku yang diberikan guru. Semuanya kami lakukan karena terpaksa takut rotan. Namun dibalik ujung rotan ada emas yang bisa kami nikmati saat ini.
Perubahan selalu saja ada dalam setiap masa. Papan tulis berwarna hitam berganti warna menjadi putih, kapur tulis berganti spidol snowman boardmarker. Model pembelajaran tidak lagi ada rotan, karena HAM (hak asasi manusia). Di ujung rotan ada rutan. Salah mendidik, guru bisa tinggal gratis di rumah tahanan (rutan).
Pendidikan Zaman Now
Dunia penuh data yang besar (big data). Menurut para pakar, setiap hari selalu dihasilkan 2,5 triliun byte data, facebook saja lebih dari 300 juta gambar setiap hari, google melayani 3-5 juta permintaan per hari bahkan lebih. Tantangan dunia pendidikan saat ini perlu mempelajari segala bentuk informasi untuk kepentingan pendidikan di sekolah.
Salah satu aplikasi big data yaitu massive open online course (MOOC) yaitu sistem pembelajaran yang dilakukan secara online ditawarkan secara masif dan terbuka untuk umum. Guru tidak lagi menjadi satu satunya sumber informasi belajar siswa.
Perangkat pembelajaran berbasis teknologi bertebaran di mana-mana. Tidak hanya perangkat yang dimiliki guru, siswa yang kemampuan orang tua cukup memadai bisa dibelinya. Seperti laptop dan smartphone.
Pembelajaran tidak lagi mengumpulkan sejumlah buku paket (buku cetak) yang ada di perpustakaan. Perubahan sumber belajar dari media cetak ke media elektronik sudah merambat bebas di dunia big data.
Perubahan mendasar yang terjadi dalam pendidikan dikenal dengan istilah “disrupsi pendidikan” yang ditandai oleh beberapa hal seperti: (1) belajar tanpa batas (continuum learning), (2) pola belajar menjadi lebih informal, (3) ketrampilan autodidak (belajar sendiri), (4) banyak cara dan sumber belajar.
Fenomena pembelajaran abad 21 lebih ditekankan pada ketrampilan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dalam hal kreativitas untuk menghasilkan karya inovasi. Bishop 2006, mengungkapkan ketrampilan yang harus dimiliki dalam menghadapi abad 21 adalah (1) berpikir kritis dan penyelesaian masalah (critical thinking and problem solving), (2) Kreativitas dan inovasi (creativity and inovation), (3) Pemahaman lintas budaya (cross-cultural understanding), (4) komunikasi dan informasi (communication and information), (5) Komputer dan literasi teknologi (computing and ICT literacy), (6) Karir dan kehidupan (life and carrier skill).
Saat ini, guru sebagai pendidik, pembimbing dan pengajar tengah menghadapi disrupsi pendidikan. Mengapa demikian? tentunya ini adalah sebuah tantangan menjadi guru abad 21.
Guru dulu tidak sama dengan guru sekarang. Guru dulu dikenal dengan generasi x yang lahir di tahun sebelum 1980. Gaya mengajar mereka juga mengikuti perkembangan kurikulum di bawah tahun 1984. Sudah pasti konvensional di saat ini. Tetapi masanya juga sukses bersama para pemimpin negeri.
Guru dulu lebih berorientasi pada pemahaman pengetahuan semata. Yang penting siswa bisa mengerjakan dan menjawab soal dengan baik dan benar itu sudah menjadi kebanggaan guru. Guru sukses mengajar di kelas.
Hasil polesan para guru sebagai generasi x telah banyak melahirkan generasi y yang memiliki masa usia produktif di era milenial. Generasi y adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-1995). Era kebangkitan baru, awal abad 21. Hasil didikan generasi x mampu membawa generasi y diawal pertumbuhan teknologi pendidikan seperti smarthphone.
Gambaran seorang manusia guru dalam buku karya Andrias Harefa, memanggil manusia guru, seri membesarkan manusia indonesia, (2020), menggambarkan kejiwaan manusia guru sebagai berikut: (1) manusia pembelajar adalah pemburu sukses, (2) manusia pemimpin adalah penikmat sukses, (3) manusia guru adalah pembantu sukses, (4) manusia pembelajar suka meminta resep dan kiat sukses, (5) manusia pemimpin adalah suka memberi kiat dan membagi cara meraih sukses. Manusia guru lebih memperhatikan ekosistem sekitarnya untuk pembelajar menikmati kesuksesannya.
Siswa abad 21 dikenal sebagai generasi z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995-2010. Mereka lahir di abad yang masiv pertumbuhan teknologi. Mereka lebih suka bersosialisasi dengan dunia maya daripada interaksi sosial. Mereka lahir di saat teknologi mulai berkembang.
Defiance (tantangan) guru abad 21 selalu saja menghantui pelaksanaan tugas utama guru. Mengapa hal ini terjadi? Jawaban sesederhana, guru butuh penyesuaian dari gaya konvensional ke guru yang hebat. Berangkat dari pengalaman bahwa manusia pembelajar (siswa) bukanlah gelas kosong yang harus diisi terus menerus. Guru akan capek sendiri. Bayangkan saja jika mengajar 8 jam per hari. Guru bukan komputer, tapi manusia biasa.
Tipe guru abad 21 menggambarkan karakterikstik manusia guru sesungguhnya. Tipe guru abad 21 seperti guru medioker (mediocre teacher), guru yang baik (good teacher), guru superior (demonstrates), guru inspirasi (great teacher). Guru medioker adalah tipe guru yang paling membosankan siswa saat mengajar. Guru medioker lebih monoton dalam mengajar lebih tahu padahal sudah kuno. Guru yang baik selalu ceramah dan menempatkan diri sebagai pusat informasi. Guru superior lebih aktif dan interaktif dengan manusia pembelajar (siswa). Guru superior menganggap diri lebih hebat dan lebih aktif dari siswa. Sedangkan, guru insprasi memiliki jiwa panggilan mengabdi, tidak sekedar menebar ilmu pengetahuan, tetapi mampu menginspirasi banyak siswa. Guru inspirasi selalu didambakan siswa apabila kehilangan sehari.
Pemanfaatan gelombang eletromagnetik dalam berbagai plafform telah mendorong manusia pembelajar untuk terus mencari informasi dan kiat sukses di masa depan. Tak ketinggalan manusia guru ikut terdampak dalam disrupsi ini. Hal inilah yang menjadikan guru konvensional harus tampil secara profesional dalam menghadapi generasi z.
Cirikhas generasi x adalah lebih suka pembelajaran berbasis kontekstual, tidak bertahan lama dalam metode pembelajaran ceramah, lebih suka tayangan berbasis audio visual, lebih suka berselancar di google daripada sekedar membaca buku cetak yang bersifat statis.
Pertanyaan untuk manusia guru, sekaligus refleksi model pembelajaran abad 21. Apakah siswa sudah siap dengan dasar yang kuat untuk penerapan model pembelajaran abad 21? Pertanyaan ini, bisa dijawab dengan baik bagi siswa yang sudah terbiasa dengan pembelajaran berbasis informasi dan teknologi (IT). Siswa di pedalaman yang minim fasilitas pendukung pembelajaran abad 21 menjadi masalah tersendiri.
Namun, kesulitan beradaptasi dengan IT menjadi salah satu tantangan pembelajaran abad 21. Sarana pendukung listrik, sinyal, perangkat IT, biaya pulsa yang mahal bisa menjadi tantangan pembelajaran abad 21. Meskipun demikian, guru sebagai manusia pembelajar tidak harus kesulitan beradaptasi. IT bukanlah tantangan (challenges) melainkan sebuah hambatan (obstacles) bagi manusia guru, manusia pembelajar untuk mempelajari secara autodidak. IT terus bergerak ke depan, kita juga harus mengikuti laju perkembangannya.
Habitasi dan mulailah
Guru sebagai agent of changes pembelajaran abad 21 harus terus berupaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Mengapa? Karena saat ini, dunia sedang berkembang maju, bukan stagnan dan statis. Dunia saat ini merupakan proses masa lalu yang penuh tantangan yang diprakarsai oleh generasi sebelum abad 21. Hari menjadi nyata di hadapan kita. Sungguh mengagumkan.
Melihat Indonesia 2045 akan mencapai puncak kejayaan dengan bonus demografi yang tinggi bisa memposisikan indonesia sebagai negara maju. Bonus demografi yang dimaksud adalah pada tahun 2045, para pelaku stakeholders, pelaku ekonomi, petinggi negara dan pemimpin negara indonesia adalah 70 persen usia produktif. Jumlah usia produktif (16-65 tahun) yang terbilang cukup tinggi yang harus siap menghadapi arus globalisasi dan persaingan yang hebat.
Guru sudah harus bergerak lebih cepat dari kecepatan suara. Minimal mendekati pesawat supersonik. Hal ini tidak mudah, tetapi harus dimulai saat ini. Para pemimpin sekolah sudah harus berinovasi menjemput ketinggalan ini. Paling tidak, kurikulum tingkat sekolah sudah harus beradaptasi menggerakan guru untuk perubahan ini.
Mulailah beradaptasi dengan sistem teknologi berbasis elektronik. Semuanya elektronik. Ebook, emodul, eleason study, eservice, elearning, digital exam (google formulir, quizizz), sistem penyimpanan file (google drive). Seringlah menulis dan membiasakan diri untuk mengkases informasi di media internet. Perbanyak waktu selancar di google. Singkatnya guru harus autodidak (belajar sendiri) agar menjadi habitus dan guru inspires bagi manusia pembelajar.
Habitation sebagai proses yang harus dibiasakan agar terbilang biasa dan mudah. Sebuah pepatah latin kuno mengatakan “Gutta cavat lapidem non vit, sed saepe cadendo: sic homo fit sapiens bis non, sed saepe legendo”, yang artinya titik-titik hujan menghancurkan batu bukan karena kekuatan air hujan, melainkan tetesan yang berulang kali.
Manusia guru, Kihadjar Dewantara pernah berkata “jika ingin hasil dalam sebulan, tanamlah sayur. Jika ingin hasil dalam 10 tahun, tanamlah pohon dan jika ingin hasil yang berkepanjangan tanamlah manusia pembelajar, ia akan membuatmu bahagia sepanjang hayat.***
No Responses