
Kata “emosi” berasal dari kata “emotion” dalam bahasa inggris yang artinya perasaan. Emosi tidak sama dengan marah. Emosi terjadi ketika tubuh kita merespon suatu kejadian yang menimpa diri kita. Emosi selalu memberikan dampak positif maupun negatif. Emosi yang berlebih bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Adanya perasaan gembira, senang, sedih dan takut. Perasaan ini bisa diatur dalam sistem saraf otak.
Emosi dalam ilmu psikologi adalah reaksi yang melibatkan seluruh pengalaman, fisiologis dan perilaku. Misalkan, ketika kita bertemu dengan seseorang yang pernah membuat kita marah, sakit hati, reaksi emosi kita akan semakin naik saat melihat orang tersebut. Rasa tidak suka, akan selalu menghantui pikiran kita, begitupun sebalik, saat kita bertemu dengan orang yang pernah membuat kita bahagia, reaksi emosi kita juga akan naik, rasa bahagia dan senang akan membuat kita seakan terbang di langit.
Bagaimana cara kerja emosi ? Menurut Dr. Paul Mac Lean, ahli neurofisiologis pada Institut Kesehatan Mental Amerika Serikat, reaksi emosi dapat dikendalikan oleh sistem limbik. (limbik berasal dari kata latin limbus, yang artinya “batas” atau “kerah”). Bagian tengah otak yang “membungkus” batang otak. Komponen sistem limbik terdiri dari hipotalamus, hipokampus dan amigdala.
Pada saat terjadi reaksi eksoterm (reaksi di luar tubuh) yang mempengaruhi tubuh, sistem limbik akan mengirimkan sinyak menuju tiga komponen penting dalam otak. Selanjutnya, sistem akan memproses secara spontan yang dapat mempengaruhi sistem fisiologis tubuh. Seperti jantung berdebar, tensi naik, keringat halus, panas tinggi, muka merah, muka pucat, muka ceria, gembira dan senang.
Sistem limbik berfungsi untuk mengendalikan emosi. Juga berfungsi untuk menjaga kestabilan dalam tubuh, seperti mengendalikan rasa lapar, haus, seksualitas, rasa senang, rasa sedih, dan fungsi kekebalan tubuh dari memori jangka panjang.
Sistem limbik juga memiliki kemampuan untuk menjaga kesehatan, bahkan dorongan emosi yang kuat akan mempengaruhi perilaku manusia dalam argumen yang rasional. Dalam batas–batas revolusioner, sistem limbik berkembang jauh sebelum manusia menemukan logika. Emosi yang kuat akan terikat dengan sangat kuat dalam memori jangka panjang.
Menurut para peneliti neurofisiologis, terdapat dua jenis emosi yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif dapat membangkitkan molekul “keceriaan” mirip openium yang disebut endorfin akan terbentuk. Molekul keceriaan ini akan meningkatkan aliran neurotransmiter yang disebut asetilkolin sebagai pelumas terjadinya hubungan antar sel saraf otak.
Hal yang berbeda dengan emosi negatif, menurut Mortimer Mishkin dan Tim Appleneller dalam Scientific American menulis bahwa sistem limbik khususnya talamus dapat bekerja seperti “saklar” antara pancaindra dan otak. Ia dapat menganalisis semua informasi emosi negatif yang masuk ke otak.
Pada saat emosi negatif semakin kuat, seperti keadaan stress, trauma dan takut gagal, informasi tersebut tidak akan sepenuhnya disampaikan ke neokorteks (bagian otak yang berpikir). Tetapi menurut para penulis dan peneliti Lesly Hart, “otak manusia akan sedikit bergeser turun ke daerah yang lebih primitif, daerah yang lebih mempertimbangkan secara rasional dan lebih banyak mengarah kepada perilaku instinktif.
Secara evolusi, dapat kita amati dari seekor binatang galak yang akan menyerang jika dia merasa terancam. Pada keadaan ini, tentunya kita tidak akan berfilsafat mengapa kau menyerang saya? Dalam dunia sekarang ini, perasaan takut gagal merupakan luapan emosi negatif dalam bentuk stress dan ancaman. Pikiran sontak kosong, hilang, tidak tersimpan dalam file dan folder kecerdasan. Itulah sebabnya, meskipun kita barusan mempelajari sesuatu yang belum lama, tetapi tidak sedikitpun yang diingat.
Metode Cara Belajar Cepat (CBC) dalam buku revolusi belajar karangan Collin Rose & Malcolm J. Nicholl menulis bahwa dalam belajar sangat diperlukan adanya relaksasi latihan emosi sebelum sesi belajar dimulai. Hal ini dilakukan untuk mengurangi emosi negatif yang berlebihan pada memori otak (Rose, 1997)
Seorang peneliti pendidikan kelas dunia dari Universitas Rio de Janeiro, tahun 1984 menyatakan bahwa sistem limbik sangat efektif mengendalikan mekanisme kerja otak dalam menjaga diri. Pemanfaatan sistem limbik secara baik dalam proses belajar dan mengajar akan sangat efektif dalam mengelola emosi.
Para guru diimbau untuk selalu menerapkan emosi ketika mengajar di dalam kelas, sehingga setiap siswa dapat berkembang dengan menggunakan potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam model pembelajaran quatum, guru harus mampu membawa dunia mereka (siswa) ke dunia kita (guru), dan hadirkan dunia kita (guru) ke dalam dunia mereka (siswa). ***
Refferensi
Rose, M. J. N. & C. (1997) Revolusi Belajar. Bandung: Penerbit Nuansa Cendikia.
No Responses