
Disiplin adalah sebuah kata yang cocok disandingkan pada sebuah proses pendidikan. Sekolah sebagai tempat formal untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Sudah selayaknya pendidikan di sekolah menetapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tata tertib sekolah sebagai acuan mendisiplinkan siswa.
Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah disiplin belajar, disiplin kerja dan disiplin waktu. Semua disiplin yang disandingkan selalu diukur dalam suatu besaran ketepatan waktu, jumlah, daya kemampuan, dan efisiensi daya guna. Semuanya terukur untuk menunjukan kualitas sebuah pekerjaan.
Jumlah waktu yang disediakan menjadi acuan bersama. Masuk tepat waktu, kerja tepat waktu dan keluar tepat waktu. Berapa jumlah produk yang menjadi target dalam selang waktu tertentu? Seberapa besar kemampuan menyerap tujuan yang akan dicapai? Berapa persen yang diperoleh dalam targeted. Jika ada yang kurang lengkap sudah pasti kurang disiplin. Konsekuensinya pada pertanggungjawaban kinerja setiap waktu.
Dampak dari disiplin yang buruk akan mempengaruhi sistem kinerja di suatu lembaga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal selalu memiliki acuan jelas untuk meningkatkan mutu kualitas pelayanan pendidikan. Namun, seberapa besar disiplin yang diterapkan di lingkungan sekolah? Semuanya selalu terukur dalam besaran dan satuan yang tepat.
Dalam dunia pendidikan, peranan guru dan kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mencapai visi dan misi sekolah. Pendidikan di sekolah selalu berkaitan dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Guru sebagai manusia pembelajar menginginkan keberhasilan siswa didikkannya. Meskipun demikian, seorang guru harus tampil sebagai great teacher yang menginspirasi sebagaimana tipe guru abad 21.
Namun, menjalani tugas memanusiakan manusia tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Proses mendidik manusia pembelajar sangat komplikatif dan menantang. Tidak hanya itu, kompetensi guru sangat nampak di permukaan sebagai agent of changes for education. Menjadi guru profesional saja tidak cukup untuk menjadikan generasi z (generasi kelahiran tahun 1995-2010) mampu menghadapi disrupsi zaman.
Jika penerapan disiplin masuk sekolah terganggu, konsekuensinya adalah pelayanan di kelas juga terlambat. Guru yang mengajar di jam pertama 07.15 harus menunggu kehadiran siswa di kelas. Sudah pasti mengajar di jam pelajaran pertama tidak efektif. Di sinilah muncul ketimpangan perilaku yang kurang berkenan yang diperanankan siswa pembelajar.
Lalu, apa yang harus dilakukan guru di jam pertama kalau siswa saja belum lengkap. Jika guru konsekuen dengan waktu, ia tetap mengajar meskipun belum banyak siswa yang hadir di kelas. Ibarat menghambur jagung pada sekawanan ayam di pagi hari. Ayam yang terlambat turun pohon akan kesulitan mendapat makanan. Jika naluri nerves bergelombang lebih cepat, ia pasti melompat menjemput makanan yang terhambur di tanah.
Namun, proses pembiaran siswa yang tidak disiplin akan memberikan dampak buruk pada pelayanan pembelajaran di kelas. Bukan tanpa alasan, siswa mengalami ketertinggalan materi pelajaran. Kebijakan yang ditempuh adalah memberikan hukuman (punishment) kepada siswa yang kurang disiplin masuk sekolah.
Punishment ini sebagai bentuk penyadaran akan perilaku yang sering terulang. Salah satu contoh punishment adalah siswa diminta berlutut, menyiram bunga, membersihkan toilet, mencabut rumput ataupun sejenisnya yang sifatnya kerja fisik. Praktek seperti ini sudah lasim dilakukan guru piket di setiap sekolah dari zaman Indonesia merdeka. Tujuannya adalah untuk mengurangi angka keterlabatan siswa datang ke sekolah.
Namun, perilaku datang terlambat ke sekolah setiap pagi tidak pernah berubah. Setiap pagi keterlambatan siswa selalu mencapai angka 30% siswa terlambat. Tanpa alasan, guru piket bertindak untuk mengatasi masalah keterlambatan masuk pagi, tanpa kompromi HAM (hak asasi manusia). Siswa seakan menjadi kebal dan tahan terhadap punishment yang diberikan guru piket.
Saat pertama menjalankan tugas piket harian, saya sedikit emosional (manusia normal) dengan perilaku siswa terlambat. Tidak pernah berubah. Siswa yang sama terlambat jumlahnya bertambah dari hari sebelumnya. Tetapi sebagai guru dengan predikat manusia guru yang membantu kesuksesan siswa di masa depan, saya mengubah cara punishment selama ini.
Hari selasa adalah jadwal piket saya. Dalam pikiran, saya mencoba menerapkan sebuah punishment berinovasi. Bagi siswa yang terlambat dipisahkan dari siswa yang lain. Mereka berkumpul membentuk barisan terlambat. Saya meminta mereka untuk menyiapkan selembar kertas putih polos, lalu ditulis pada setiap baris hingga baris terakhir halaman. Hari pertama cukup menulis 1 halaman penuh, terkait alasan mengapa datang terlambat. Jika besok masih mengulangi, hukumannya adalah menulis 2 halaman penuh, dan seterusnya.
Sesuatu yang baru dilakukan di hari itu. Rasanya sulit untuk menulis. Namun, saya mencoba untuk memberikan gambaran tulisan di dalam kertas. Ada yang bertanya kepada saya, “apa yang harus kami tulis pak”? saya menjawab “tulislah pengalaman anda dari bangun tidur hingga terlambat datang ke sekolah”. Satu per satu mereka menuliskan pengalaman alasan terlambat ke sekolah. Sejauh mata memandang, ada sebagian siswa kesulitan menulis, namun adapula yang menulis dengan rapih dan terstruktur.
Jawaban alasan keterlambatan masuk sekolah disebabkan oleh banyak hal. Seperti tempat tinggal jauh dari sekolah, tidak ada akses transportasi ojek ke sekolah sehingga harus menunggu lama, ada yang harus menunggu mikrolet, ada yang harus bekerja pagi membantu orang tua memasak, menyiram sayur, iris tuak, cari pakan ternak, motor ban pecah, kehabisan bensin, bangun terlambat, dan lain sebagainya.
Saya memahami kondisi geografis masing-masing siswa. Cukup tergambar bahwa punishment yang diberikan sebagai bentuk pendidikan kepada siswa tanpa menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa memunculkan masalah baru, jika guru piket tidak kerja secara profesional. Paling tidak, siswa diajak berkomunikasi, lalu dicarikan solusi yang tepat.
Beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasi keterlambatan siswa datang pagi adalah (1) membangun komunikasi dua arah (sekolah dan orang tua siswa), (2) menyiapkan fasilitas penginapan (dorm) yang lebih dekat, (3) Membiasakan siswa bangun pagi (early morning) (4) Mengajarkan arti pentingnya waktu “time is gold”, (5) Memberikan motivasi “motivation” dan penghargaan “reward” kepada siswa yang disiplin masuk sekolah.
Solusi di atas akan terlihat berjalan dengan baik, apabila semua civitas akademika bergerak lebih cepat dari siswa pembelajar. Semua guru mata pelajaran di jam pertama masuk lebih awal, menjemput siswa di pintu masuk. Guru memulai mengajar sesuai jam pelajaran, tanpa harus menunggu siswa yang lain.
Hamburlah ilmu pada siswa yang tepat, mereka akan menerima dengan sepenuh hati. Proses pembiaran (seolah tak perduli dengan siswa yang terlambat). Mungkin saja, ilmu dari bapak dan ibu guru tidak penting bagi mereka yang terlambat, tetapi bermanfaat di kemudian hari.
“Berjalan terus sampai finish, jika memang harus terpaksa, tetapi jangan sampai anda terluka hanya karena ingin mereka sukses. Orang tua dan guru pasti menginginkan sebuah cita-cita keberhasilan anak di masa depan, namun kita (guru dan orang tua) terkandas karena mereka (siswa) juga memiliki cita-cita yang berbeda. Ingat setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya.***
No Responses