Tuesday 5th December 2023
    [otw_is sidebar=otw-sidebar-1]

    Membaca Ponu Untuk Kesekian Kalinya

    Gambar Keindahan Alam Ponu

    Ponu itu apa, di mana, sejenis apa, apakah perempuan atau laki-laki dan seterusnya merupakan deretan pertanyaan-pertanyaan celaka yang tak perlu dijawab. Jika kau nekat menjawab sesuatu, hanya akan kau temukan kesunyian yang lebih besar, hahaha..fakk, apa coba? Biarkan saja dia hidup atau mati mampus. Berjalan dan berhenti semaunya. Menjadi pohon, sapi, kuda dan lain sebagainya. Entah kau membaca dan menyukai, berkesan atau tidak sama sekali, dia tak peduli. Mampuslah kau dihantam puisi!

    Aan Mansyur, dalam sebuah talk show mengungkapkan bahwa puisi meskipun kecil bisa jadi merupakan suatu tempat paling aman untuk mengatakan atau mengkomunkasikan kebenaran setiap orang dalam versi masing-masing. Puisi kadang seperti rumah yang dibangun dari pertanyaan-pertanyaan, tidak ada jawaban apapun yang disodorkan namun bagi siapa saja yang masuk ke sana akan menamukan sesuatu yang dia cari tergantung apa yang dia bawa masuk ke dalam sana. Versi lain dari si tua Sapardi, yang bilang kalau puisi itu permainan bunyi, “bilangnya begini maksudnya begitu.” Atau apa gerangan yang dibayangkan penyair ketika ia menulis sajak? Setiap orang tentu punya defnisi masing-masing di kepala mengen⁸ai puisi. Mari kita bertanya kepada Ponu yang oleh Ricky dianggap sebagai sesuatu yang intim.

    Mengenal Ricky

    Ricky itu seorang guru, penyair dan juga pustakawan yang aktif bergiat di beberapa komunitas sastra di kota Kupang dan sekitarnya. Anda tahu komunitas Pohon Asam? Yang sering promo buku-buku di lini masa itu dengan hastag bar-bar. Saya mencurigai bahwa beliau adalah bapak pendiri komunitas itu. Saya mengenal Ricky tidak dari puisi-puisinya. Dia adalah teman saya. Mantan biarawan yang telah lama memutuskan pergi untuk meninggalkan biara. Sampai di sini, semua mahkluk mesti paham bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini tentu punya alasan yang jelas. Termasuk alasan mengapa ia betah mencintai Ponu.

    Untuk Ponu dan Minggu di Ponu

    Untuk Ponu dan Minggu di Ponu merupakan hal-hal sederhana yang ditulis sebagai puisi. Puisi yang bebas bergerak dari segala beban dan sekat pengertian. Dia bebas menjelma menjadi apa saja. Kadang seperti pohon atau anak-anak kampung yang suka bermain di hutan. Menjadi musim, kebun atau remaja kasmaran lalu patah hati dan mabok sesuka hati.

    Ricky mempermainkan Ponu dengan bebas merdeka. Namun sialnya, ia menggiring orang-orang untuk selalu berpikir keras dan mempertanyakan segala sesuatu. Mereka-reka tentang apa yang ada di dalam batok kepala Ricky. Ia seolah sedang menghamburkan sesuatu dan mempersilakan para pembaca yang budiman untuk mulai memungut-menyusun kembali. Pekerjaan yang tak mudah. Kita mungkin akan bertanya-tanya; “Serumit itukah puisi?” Dari kedua judul puisi di atas, Ponu menjadi titik pusat permenungan sekaligus permainan Ricky.

    Dari Peristiwa Ke Imajinasi  Dalam Puisi “Untuk Ponu”

    Setelah Nelci sekarang Ponu. Ricky pernah menulis beberapa puisi pendek lalu mengirimnya ke saya yang menyoal intim tentang Nelci. Semisal, Untuk Nelci, Memo Kesekian Untuk Nelci dan beberapa puisi lain. Ketika membaca dan memulai membuat menulis ini saya membayangkan sosok Nelci dalam Ricky atau sebaliknya. Cukup! Itu saja dulu. Selebihnya urusan semesta. Bahwa di dalam tubuh puisi, ada Nelci yang hidup oleh kematian sang penulis. Ada semacam sebuah jarak namun lekat. Kelihatan namun disembunyikan. Rumit bukan main kan? Ah, atau, mending main tik-tok saja.

    Tinggalkan Nelci, sekarang Ponu! Banyak hal rumit dapat diselesaikan dengan cara mabuk, patah hati misalnya. Sesederhana itu. Tidak perlu muluk-muluk. Minuman keras khas kampung(an) bernama laru dan membikin mabuk kebanyakan orang itu disebut sebagai harapan. Harapan seperti apa yang kita temui di hadapan jergen-jergen laru? Agar tidak terlalu naif, dengan berani saya menolak untuk menjawab pertanyaan sendiri. Perhatikan bait ke dua di bawah ini dari puisi Untuk Ponu!

    Jangan percaya purnama

    meski kutulis di tengah malam

    sebab pucuk-pucuk tuak sudah muncul

    menyembunyikan apa saja yang kau sebut harapan

    dalam jergen-jergen laru.

    Untuk Ponu adalah puisi panjang yang di bagi ke dalam 3 bait. Ricky mendengungkan kalimat awal pada bait pertama dengan latar peristiwa yang saling bersahut-sahutan. November dan kemarau, matamu dan mata air. Sapi dan kuda dan rinduku.

    November menggambar sebuah bola

    dilangit yang kemarau, sayang

    dan kusebut itu matamu:

    mata air tempat minum

    sapi, kuda dan rinduku.

    Jika dicermati, peristiwa-peristiwa serupa yang dituliskan menyeret kita untuk masuk dalam lapisan imajinasi. Setelah membaca, kita akan mereka-reka tentang apa yang terjadi dalam tubuh puisi. Ah, Ricky sedang bermain kata-kata. Dia mempermaikan Ponu (dan para pembaca) sesuka hati. Tidak hanya sebatas membaca lalu berhenti namun terus berpikir dan bertanya-tanya. Apakah Ponu adalah Nelci yang lain?

    Merayakan Minggu Di Ponu

    Setiap orang punya alasan merayakan hidup meski dengan cara yang berbeda. Seorang ibu yang lelah bekerja seharian, melepas penat di hadapan TV bersama sinetron kesukaan. Ayah pulang dari kebun dan tak banyak bicara namun dalam diamnya, dia menghabiskan secangkir kopi buatan ibu sambil tersenyum memikirkan utang dan biaya kuliah anak-anaknya. Kita bertanya,  apa yang dapat menjembatani hal-hal sederhana itu untuk sampai ke telinga dan mata kita menjadi perayaan-perayaan yang sarat makna? Bisa jadi sebuah puisi adalah salah satu jembatan. Lihat saja, bagaimana Ricky merayakan Minggu di Ponu;

    Raung mesin rontok menjadi isyarat petama

    Akan kucintai Kau, Kristus

    selepas tanah mekarkan retaknya

    dan kali-kali kecil mencuci masa lalu

    dalam darah babi dan gelas-gelas laru

    Dalam bait pertama, Ricky menyebut dan mencintai Kristus dalam perayaan yang tak biasa. Bukan dalam perayaan dan ritual orang-orang beragama pada umumnya. Bunyi mesin rontok menggantikan lonceng gereja. Darah tumpah bukan dari tubuh manusia lalu ditadah dalam wadah berlapis emas. Orang-orang merayakannya dalam gelas-gelas laru. Prihal Minggu di Ponu adalah perayaan keberhasilan, kekecewaan dan kecemasan dalam waktu yang bersamaan. Kita bisa menemukan hal itu dalam bait terakhir;

    Jauhkan gerak mendung hitam, jauhkan itu

    Ketika derak patah ranting tak lain isyarat terkahir

    Akan kucintai Kau, Kristus selepas kemarau

    Menjatuhkan kecemasan-kecemasan menguning

    Di setiap halaman rumah yang disinggahinya.

    Pada akhirnya, puisi merupakan usaha menjaring makna. Mencari dan mengumpulkan yang tercecer. Seperti yang telah diungkapkan Aan bahwa puisi meskipun kecil bisa jadi merupakan suatu tempat paling aman untuk mengatakan atau mengomunikasikan kebenaran setiap orang dalam versi masing-masing. Ricky menulis dan serentak memberikan ruang kepada setiap orang untuk membaca dan menemukan sesuatu tentang Ponu.

    Salam!

    Penulis: Rm. Renald Sakeng, Pr. Imam Keuskupan Weetebula

    [otw_is sidebar=otw-sidebar-6]

    Subscribe

    Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

    No Responses

    Tinggalkan Balasan